Senin, 13 Juli 2009

Perbandingan Etika Lingkungan Binatang


Membuang kotoran memang selayaknya di tempat yang telah
disepakati untuk menampung kotoran tersebut dan terlebih karena dipahami.
Contohnya septik-tank, penampungan limbah tailing (bekas galian).
Karena memang telah menjadi kesepakatan dari kesepemahaman bersama bahwa
limbah/ kotoran tersebut tempatnya harus dilokalisasi dan kemudian
di olah/ perlakukan / dimuliakan untuk dapat digunakan kembali
(recycle treatment).

Kearifan lokal pemuliaan mata air bangsa Indonesia tidak
menjadikan mata air sebagai tempat mandi atau sekedar mencuci
muka atau mencuci peralatan pendukung primer hidup manusia.
Biasanya dari mata air, dibuatkan saluran selanjutnya yang
dapat menampung air tersebut. Setelah itu air dialirkan kembali
kepengguna berdasarkan motif kebutuhannya.

Beberapa spesies binatang, kecuali yang hidup di lingkungan air
atau dua lingkungan yaitu air dan darat, menjadikan air sebagai
sumber penghidupan. Binatang darat menjadikan air untuk mencari
sumber-sumber makanan dan minum. Binatang darat tidak membuang
kotoran mereka pada sungai. mereka lebih sering membuat lobang
atau menutupi kotoran mereka dengan pasir ( kucing dan anjing).
Binatang menghargai air dan sungai sebagai sumber penghidupan mereka.

Hal tersebut berbeda dengan prilaku masyarakat indonesia pada
umumnya. Perumahan masyarakat banyak yang membelakangi dan didirikan pada daerah sepadan atau merusak sungai sungai. Kotoran dari kamar mandi dan dapur mengarah pembuangan akhir pada sungai tanpa ada perlakuan pemuliaan terhadap lingkungan terlebih dahulu. prilaku menggunakan / mengakses sungai langsung tanpa membuat saluran guna mekanisme pemamfaat tidak menjadi budaya bernilai konservasi di Indonesia. Selain masih terdapatnya prilaku masyarakat yang membuang hajat/ kotoran langsung pada air disungai (buang kotoran padat dan cair, mencuci), pembuatan MCK dipinggir sungai yang tidak mengindahkan etika lingkungan juga dianggap sebagai pemicu budaya merusak air sebagai unsur kehidupan utama yang kita pahami bersama.

Padahal pemamfaatan air sebagai media pengucapan syukur
(ibadah) dapat menjadi ukuran terhadap pemuliaan tersebut.
Contohnya pada budaya agama Islam. Tradisi menyucikan diri
sebelum menghadap yang Maha Kuasa dengan menyucikan dengan
ritual wudhu adalah hal terdekat yang dapat dijadikan ukuran
pendekatan agama untuk memuliakan air. Karena sebelum pelaku
ibadah tersebut menyucikan diri menggunakan media air yang
dianggap dapat membasuh atau membersihkan, air yang akan
digunakan untuk menyucikan tersebut harus-lah terlebih dahulu
suci (bersih tidak berwarna dan berbau).

Namun hal tersebut tidak menjadi pembelajaran kebiasaan manusia untuk memuliakan air-air lain, demikian halnya dengan sungai sebagai pengantar air tersebut. Padahal telah berabad-abad pembelajaran pemuliaan sumberdaya air tersubut masuk ke Indonesia.

Bila manusia dibandingkan dengan kucing dan anjing yang merupakan binatang. Ternyata kedua mahluk tersebut lebih dapat dikatakan bisa memuliakan air dan sungai sebagai sumber kehidupan. Kucing dan anjing lebih memanfaatkan air dan sungai sebagai sumber air minum, makanan dan cuci, bukan sebagai tempat membuang kotoran. Terus memang manusia mana yang hingga saat ini dapat mengajari bagaimana binatang tersebut dapat memuliakan sungai bersama air-nya?